R E G U L A T I N G C Y B E R S P A C E

Cyberspace dengan realitas virtual menawarkan manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan, dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.


Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan, dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat persoalan hukum yang muncul berupa sisi gelap yang perlu kita perhatikan yaitu cybercrime dengan berbagai macam bentuknya.


Carding, merupakan kasus yang membuat Indonesia menjadi salah satu Negara terkenal dalam cybercrime. Selain itu adalah hacking, sebagai bentuk baru dalam mengekspresikan kekecewaan, kekesalan dalam dunia bisnis dan politik, seperti kasus hacking terhadap situs-situ milik Malaysia sebagai bentuk protes terhadap kebijakan negara itu dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia (TKI).


Cyberspace adalah ruang yang dihuni para netters atau netizen, ruang atau tempat kita berada ketika kita mengarungi dunia informasi global interaktif yang bernama internet. John Suler menganggap cyberspace adalah ruang psikologis dan sebagai ruang psikologis keberadaannya tidak tergantung pada batas-batas konvensional mengenai benda berwujud.11 Cyberspace, istilah yang pertama kali diintrodusir oleh William Gibson ini, menampilkan realitas, akan tetapi bukan realitas yang nyata sebagaimana bisa kita lihat melainkan realitas virtual (virtual reality), dunia yang tanpa batas. Para netters yang menghuni cyberspace itu dinamakan virtual community (komunitas virtual).


Perkembangan teknologi informasi yang pesat beserta penyebaran produk-produknya
dimungkinkan karena adanya globalisasi, dan dampaknya terasa pula pada bidang hukum. Hukum, teknologi informasi dan globalisasi merupakan tiga bidang yang perkembangan saling terkait. Globalisasi membawa system perdagangan dunia yang baru, di mana hal ini menyebabkan sistem hukum diantara negara yang terlibat menjadi berbenturan. Dalam globalisasi, hokum bergerak di antara mempertahankan hukumnya sendiri atau menyesuaikan dengan hukum negara lain.

Teknologi informasi memungkinkan setiap orang di belahan dunia manapun dapat melakukan hubungan hukum dengan orang lain. Perkembangan yang demikian membutuhkan hukum untuk mengatur perilaku manusia di sana, memecahkan masalah-masalah yang timbul dan menjadi pedoman dalam bertingkah laku. Hukum sendiri diharapkan dapat selalu menggali dan mengikuti perkembangan jaman, baik globalisasi maupun perkembangan teknologi informasi. Persoalannya adalah kecepatan yang dimiliki oleh hukum tak sebanding dengan kecepatan globalisasi dan teknologi informasi, sehingga timbul kesan bahwa hokum selalu tertinggal dalam mengatur aktivitas perilaku manusia dalam kedua hal tersebut.

Ketertinggalan hukum bukan merupakan indikasi bahwa hokum termarginalisasi, akan tetapi ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, perbedaan kepentingan dan kemauan politik dari badan pembuat hokum merupakan kendala yang tak mudah untuk dicarikan titik temunya. Kedua, proses pembuatan undang-undang (dari aspek prosedur) membutuhkan waktu yang tidak sedikit, padahal perkembangan teknologi berkembang sangat cepat sehingga dengan proses yang demikian lama menyebabkan hukum yang terbentuk menjadi usang dari sisi teknologinya. Ketiga, hukum memerlukan kepastian dan ketepatan (dari aspek substansi atau materi yang hendak diatur), sehingga untuk membuat hukum yang memiliki sifat demikian bukanlah pekerjaan yang mudah.

Hukum, teknologi informasi dan globalisasi berkembang sebagai wujud dari aktivitas manusia yang ditujukan untuk kepentingan manusia. Dengan tujuan yang seperti itu maka membicarakan hukum bukan hanya berkaitan dengan undang-undang saja, teknologi informasi tak hanya membicarakan perkembangan software dan hardware serta akses internet murah, serta globalisasi tak melulu berkaitan dengan kepentingan apa yang mesti dipetik dari sistem perdagangan dunia yang ada.

Model pengaturan untuk mengatasi kelemahan the existing law adalah The Hybrid of Cyberspace Law. Konsep mengenai the hybrid of cyberspace law model bertitik tolak dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia (grundnorm) sekaligus sebagai pandangan hidup bangsa. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur bangsa sekaligus sebagai jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia. Pada posisi yang demikian, maka Pancasila menjadi cita hukum27 dalam mengembangkan the hybrid of cyberspace law model.

Peraturan dan Regulasi IT


Telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Cyberlaw, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum maya. Yang kita ketahui di Indonesia terdapat UU ITE, UU No. 11 tahun 2008, terdiri dari XIII bab dan 54 Pasal. Ini adalah undang-undang yang membahas tentang informasi da transaksi elektronik.

Undang-Undang tersebut memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.

Menanggapi keprihatinan konsumen akan perlunya perlindungan information privacynya, ada baiknya dilakukan penelusuran terhadap berbagai inisiatif internasional dalam mengembangkan prinsip-prinsip perlindungan data (data protection). Selama ini terdapat 3 (tiga) instrument internasional utama yang mengatur mengenai prinsip-prinsip perlindungan data, yaitu:

The Council of European Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal Data Dalam Konvensi ini dijabarkan prinsip-prinsip bagi data protection yang meliputi :

1. Data harus diperoleh secara fair dan sah menurut hukum (lawful).

2. Data disimpan untuk tujuan tertentu dan sah serta tidak digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

3. Penggunaan data secara layak, relevan dan tidak berlebihan dalam mencapai tujuan dari penyimpanan data tersebut.

4. Pengelolaan data secara akurat dan membuatnya tetap actual.

5. Pemeliharaan data dalam suatu format yang memungkinkan identifikasi terhadap data subject untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari yang diperlukan untuk maksud penyimpanan data tersebut.

Perbedaan cyberlaw diberbagai Negara :

Cyberlaw di Indonesia

Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.

Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.

Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.

Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.

Cyber Law di Malaysia

Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.

Departemen Energi, Komunikasi dan Multimedia sedang dalam proses penyusunan baru undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan, pengolahan dan penggunaan data pribadi oleh organisasi apapun untuk memberikan perlindungan untuk data pribadi seseorang dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya. Ini to be undang yang berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip perlindungan data yaitu :

  • Cara pengumpulan data pribadi
  • Tujuan pengumpulan data pribadi
  • Penggunaan data pribadi
  • Pengungkapan data pribadi
  • Akurasi dari data pribadi
  • Jangka waktu penyimpanan data pribadi
  • Akses ke dan koreksi data pribadi
  • Keamanan data pribadi
  • Informasi yang tersedia secara umum.

Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)

Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.

Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya , yang menurut Prof. Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.


Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:

  1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
  2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
  3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
  4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
  5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties


Diposting oleh Suhendi Rizky Ronaldi

0 komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates